1.
Asas Tata Guna Tanah (pasal 13, 14 dan 15 UUPA)
Pasal 13.
(1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
(2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
(3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
(4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria.
Pasal 14.
(1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3) , pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya:
a. untuk keperluan Negara,
b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu;
e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
(2) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
(3) Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku setelah mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari, Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan.
Pasal 15.
Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.
Pasal 13.
(1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
(2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
(3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
(4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria.
Pasal 14.
(1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3) , pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya:
a. untuk keperluan Negara,
b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu;
e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
(2) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
(3) Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku setelah mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari, Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan.
Pasal 15.
Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.
Contoh
Kasus
Contoh
kasus yang menunjukkan terjadinya proses pemiskinan penduduk terjadi di desa
Tegal Buleud kabupaten Sukabumi yang mayoritas penduduknya bermatapencaharian
di bidang pertanian. Dari semua persoalan pertanian yang dihadapi petani di
Tegalbuleud, persoalan utama yang menjadi landasan terciptanya konflik dan
pemiskinan besar-besaran penduduk desa tersebut adalah sosok aparat pemerintah yang
bersekutu dengan pemilik modal dalam memanfaatkan pengelolaan sumber daya alam
di pedesaan yang terjadi di Indonesia selama berkuasanya rejim Orde Baru yang
merupakan produk strategi pembangunan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
Salah satu rumusan strategi pertumbuhan ekonomi tersebut didasarkan pada
strategi pinjaman utang luar negeri guna pengembangan infrastruktur modern yang
kemudian harus dibayar oleh pemerintah dari dana yang diperolehnya melalui
eksploitasi sumber daya alam di Indonesia. Tidak mengherankan bila pada tingkat
lokal, implementasi strategi tersebut membuahkan berbagai konflik di mana
negara yang tengah berupaya keras memenuhi kas pendapatannya harus berhadapan
dengan para petani yang harus kehilangan tanahnya melalui program-program
pembangunan tersebut. Konflik pertama yang muncul di desa tersebut berawal
dengan adanya “program pembangunan” pemerintah yang merencanakan dengan
membangun kompleks perkebunan kelapa hibrida yang akan menjadi komoditi ekspor
yang menguntungkan bagi pemerintah pada awal tahun 1980-an. Tanah yang sekarang
menjadi tanah PIR-BUN seluas 2000 hektar merupakan tanah yang sebelumnya
dikelola oleh masyarakat masing-masing seluas 2 hektar. Rakyat menanami tanah
tersebut dengan tanaman cengkeh, buah-buahan dan lain sebagainya. Ketika proyek
PIR memutuskan agar tanah tersebut ditanami oleh kelapa hibrida, maka semua
tanaman yang ditanam rakyat ditebangi dengan paksa. Selain itu, kebanyakan
petani yang sebelumnya mengelola tanah tersebut, ternyata tidak mendapatkan
kembali tanah mereka yang didistribusikan kepada orang-orang lain. 6)
Kasus-kasus ini muncul saat penguasaan tanah di Indonesia dirasakan terpusat
pada sekelompok orang. Banyak tanah rakyat yang dijual ke tangan pembeli
bermodal besar maupun investor akibat desakan ekonomi. Lahan-lahan pertanian
mengalami konversi, akibat para petani menjual tanah kepada investor yang
kemudian tidak mengolah tanah tersebut. Banyaknya tanah terlantar di perkotaan
maupun pedesaan sangat mencolok sekali di tengah kebutuhan mendesak akan
pemukiman bagi warga, maupun kebutuhan akan lahan pertanian. Hal ini membuat
masyarakat merasa termarginalkan di daerahnya sendiri, dan kerapkali
menimbulkan konflik maupun sengketa di atas tanah tersebut. Ironisnya
tanah-tanah yang dibiarkan terlantar itu tidak ditindak lanjuti oleh pemerintah
untuk diamankan padahal berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUPA setiap
orang dan badan hukum mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya
diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah
cara-cara pemerasan. Jadi konsekuensi dari ketentuan Pasal 10 ayat (1) ini
adalah bahwa tanah pertanian itu tidak boleh dibiarkan terlantar sehingga
keberadaannya menjadi tidak bermanfaat dan rusak sedangkan menurut ketentuan Pasal
15 UUPA bahwa memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah
kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang
mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak ekonomi
lemah.
2.
Asas Pendaftaran Tanah (pasal 19 UUPA)
Pasal 19.
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Pasal 19.
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
A.
Kasus Sengketa Lahan Senayan City
Sengketa tanah antara pengelola
Senayan City dengan ahli waris Alm Toyib bin Kiming terus berkepanjangan.
Bahkan persoalan ini membuat Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPK
GBK) turut gerah. Mereka tidak terima jika lahan yang dikelolanya itu tidak
memiliki surat-surat tanah. Bahkan PPK GBK menantang di peradilan jika ahli
waris Alm Toyib bin Kiming itu memiliki bukti otentik atas lahan yang
diperebutkan itu. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta
meminta pemerintah DKI Jakarta segera menutup pusat belanja dan perkantoran
Senayan City. Menurutnya, langkah itu perlu ditempuh agar penyelesaian sengketa
tidak berlarut-larut. Pengelola komplek Gelora Bung karno (GBK) atau Badan
Layanan Umum (BLU) Pusat Pengelolaan Komplek Gelanggang Olahraga Bung Karno
(PPKGBK) menyatakan kerja sama dengan proyek Senayan City sudah sesuai aturan.
Pada saat ini, eksekutif, termasuk Government Public Relations diharapkan dapat membantu mengambil tindakan tegas. Kasus sengketa
lahan Senayan City, Jakarta, muncul karena adanya pengaduan atau klaim atas
tanah yang digunakan untuk Senayan City oleh orang yang mengaku ahli waris Alm
Toyib bin Kiming. Sengketa lahan yang ditempati Senayan City mencuat setelah
ahli waris Toyib bin Kiming mengklaim tanah seluas 6,2 hektare di Jalan
AsiaAfrika itu sebagai miliknya. Pengelola GBK yang ada di bawah Sekretariat
Negara (Setneg) membantah klaim bahwa tanah tempat Senayan City adalah lahan
sengketa. Tanah yang digunakan oleh PT Manggala Gelora Perkasa untuk proyek Senayan City adalah tanah
milik negara atau PPK GBK atau Setneg dan apabila ada pihak-pihak lain yang
mengaku mempunyai hak kepemilikan atas tanah tersebut tentunya dapat melakukan
upaya hukum. Sebab tanah GBK adalah tanah eks Asian Games IVtahun 1962 yang kepemilikannya
adalah milik negara. Namun, menurut Government Public Relations Senayan City, sengketa itu adalah masalah antara
pihak Gelora Bung Karno dan keluarga ahli waris. Kepastian dari Sekretariat
Negara sangat dibutuhkan, karena ini tanah negara. Hak kepemilikan tanah berada
di tangan Sekretaris Negara dan pengelolaannya dipercayakan kepada Gelora Bung
Karno. Sebagai penyewa, Senayan City mengajukan permohonan kepada pengelola
Gelora Bung Karno mengenai perjanjian sewa-menyewa akan penggunaan lahan itu selama
35 tahun, terhitung sejak 2006. Kuasa hukum ahli waris Toyib bin Kiming,
Tony Arif, mengatakan, lahan yang di klaim kliennya berada di luar lahan yang
dikuasai Sekretariat Negara. Kesimpulan itu sudah diverfikasi Badan Pertanahan
Nasional, P2U, pajak, camat, dan lurah setempat. Di sisi lain, Public
Relations Manager Senayan City
membantah anggapan bahwa pihaknya menganggap remeh persoalan sengketa tanah
itu. Ia menjelaskan, Senayan City sebagai pihak ketiga harus menyerahkan
persoalan kepemilikan lahan kepada pemerintah. Menurut pendapatnya, mereka
hanya penyewa, tidak berwenang menentukan siapa pemilik tanah,
Government Public Relations Senayan City
berkomentar bahwa mereka hanya sebagai pihak ketiga dan penyewa tanah.
Kasus ini dapat diselesaikan melalui jalur hukum, karena sengketa lahan itu
tidak akan menemui jalan keluar dan tidak menemukan kepastian jika pihak yang
bersengketa tetap berkukuh dengan pendirian mereka.
B. Analisa Kasus
Kasus sengketa tanah ini terjadi
antara pihak Senayan City dengan ahli waris Alm Toyib bin Kiming, sedangkan
pihak Senayan City sudah menyewa lahan tersebut dari pihak pemerintah
selama 35 tahun. Untuk penyelesaian kasus ini, kedua belah pihak mengadukan kasus
ini ke ranah hukum karena kasus ini menyangkut pihak pemerintah dan berskala
cukup besar sehingga harus diselesaikan melalui jalur hukum. Kasus ini juga harus diselesaikan
secepat mungkin karena dapat merugikan berbagai
pihak. Adapun undang-undang yang mengatur kasus Sengketa Tanah di Senayan City
tersebut, meliputi:
PENDAFTARAN TANAH
Dasar Hukum:
v PP No. 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah menggantikan PP No. 10 Tahun 1961.
v UUPA:
Pasal 19, Ayat (1): Untuk
menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh
wilayah RI menurut ketentuan yang diatur dengan PP.
Pasal 19, ayat (2):
Pendaftaran Tanah, meliputi:
1.Pengukuran,
Perpetaan, dan Pembukaan Tanah.
2.Pendaftaran hak
atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut
3.Pemberian
surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Pasal 23: Hak Milik
Pasal 32: Hak Guna Usaha
Pasal 38: Hak Guna Bangunan
Tujuan
· Antara Lain:
-
Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atastanah
suatu bidang tanah, satuan rumah susun,
hak tanggungan dan hak-hak lain yang di daftar agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
-
Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk pemerintah agar dengan
mudah dapat memperoleh data yang diperlukan.
-
Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Fungsi
· Yaitu
memperoleh alat pembuktian yang kuat tentang sahnya pembuatan hukum mengenai
tanah.
· Kegiatan
Pendaftaran tanah
meliputi:
a.
Pengukuran, Perpetaan, dan Pembukaan tanah yang menghasilkan peta-peta
pendaftaran dan surat-surat ukur.
b.
Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
Dalam kegiatan ini meliputi pencatatan
mengenai:
- Status Tanah
- Subjek Pemegang Hak
- Beban-beban yang membebani hak atas tanah
tersebut.
c. Pemberian surat-surat tanda
bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
SERTIFIKAT CACAT
HUKUM
· Yaitu
sertifikat yang terdapat kekeliruan-kekeliruan saat menerbitkannya.
· Bentuk-bentuk
kekeliruan tersebut adalah :
1.Pemalsuan
sertifikat
Yaitu berupa pemalsuan blangko
sertifikat tanah, stempel BPN dan pemalsuan data pertanahan nya.
2.Pembuatan
sertifikat aspal
Secara formal, sertifikat aspal
ini tidak berbeda dengan sertifikat sebenarnya (asli), namun secara materiil,
penerbitan sertifikat aspal ini tidak didasarkan pada hak yang benar,
seperti penerbitan sertifikat yang didasarkan pada surat keterangan pemiliknya
yang dipalsukan.
3.Pembuatan
sertifikat ganda
Yaitu sebidang tanah mempunyai lebih dari satu
sertifikat.
HAK GUNA BANGUNAN (HGB)
·
HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah
miliknya sendiri.
·
Subjek HGB:
1.WNI
2. Badan Hukum
yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan diIndonesia.
· Terjadinya
HGB:
1.Tanah Negara:
Penetapan Pemerintah
2.Tanah Milik:
Perjanjian
·
PP No. 40 Tahun 1996: Hak Guna Bangunan diberikan untuk waktu paling lama
30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk 30
tahun.
HAK GUNA USAHA (HGU)
§ HGU adalah hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, guna perusahaan
pertanian, perikanan, atau
pertenakan.
§ UUPA pasal 28 s/d pasal 34, PP
No. 40 Tahun 1996 pasal 2 s/d pasal 18.
§ PP No. 40 Tahun 1996:
Pasal 8:
Hak guna usaha dapat diberikan
untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 25
tahun, dan dapat diperbaharui kembali.
Pasal 11:
Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan
perpanjangan atau pembaharuan hak guna usaha dapat dilakukan sekaligus
dengan membayar uang pemasukan.
HAK PENGELOLAAN (HPL)
§ PMDN No. 1 Tahun 1977, berisi
wewenang untuk:
1. Merencanakan peruntukan
penggunaan tanah yang bersangkutan.
2. Menggunakan tanah tersebut untuk
keperluan pelaksanaan usahanya.
3. Menyerahkan bagian-bagian
daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh
perusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi segi-segi peruntukkan,
penggunaan, jangka waktu, dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian
tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat yang
berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar