Sabtu, 21 November 2015

Asas Tata Guna Tanah Dan Asas Pendaftaran Tanah Beserta Contohnya



1.      Asas Tata Guna Tanah (pasal 13, 14 dan 15 UUPA)
Pasal 13.
(1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
(2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
(3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
(4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria.
Pasal 14.
(1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3) , pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya:
a. untuk keperluan Negara,
b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu;
e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
(2) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
(3) Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku setelah mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari, Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan.
Pasal 15.
Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.


Contoh Kasus
Contoh kasus yang menunjukkan terjadinya proses pemiskinan penduduk terjadi di desa Tegal Buleud kabupaten Sukabumi yang mayoritas penduduknya bermatapencaharian di bidang pertanian. Dari semua persoalan pertanian yang dihadapi petani di Tegalbuleud, persoalan utama yang menjadi landasan terciptanya konflik dan pemiskinan besar-besaran penduduk desa tersebut adalah sosok aparat pemerintah yang bersekutu dengan pemilik modal dalam memanfaatkan pengelolaan sumber daya alam di pedesaan yang terjadi di Indonesia selama berkuasanya rejim Orde Baru yang merupakan produk strategi pembangunan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Salah satu rumusan strategi pertumbuhan ekonomi tersebut didasarkan pada strategi pinjaman utang luar negeri guna pengembangan infrastruktur modern yang kemudian harus dibayar oleh pemerintah dari dana yang diperolehnya melalui eksploitasi sumber daya alam di Indonesia. Tidak mengherankan bila pada tingkat lokal, implementasi strategi tersebut membuahkan berbagai konflik di mana negara yang tengah berupaya keras memenuhi kas pendapatannya harus berhadapan dengan para petani yang harus kehilangan tanahnya melalui program-program pembangunan tersebut. Konflik pertama yang muncul di desa tersebut berawal dengan adanya “program pembangunan” pemerintah yang merencanakan dengan membangun kompleks perkebunan kelapa hibrida yang akan menjadi komoditi ekspor yang menguntungkan bagi pemerintah pada awal tahun 1980-an. Tanah yang sekarang menjadi tanah PIR-BUN seluas 2000 hektar merupakan tanah yang sebelumnya dikelola oleh masyarakat masing-masing seluas 2 hektar. Rakyat menanami tanah tersebut dengan tanaman cengkeh, buah-buahan dan lain sebagainya. Ketika proyek PIR memutuskan agar tanah tersebut ditanami oleh kelapa hibrida, maka semua tanaman yang ditanam rakyat ditebangi dengan paksa. Selain itu, kebanyakan petani yang sebelumnya mengelola tanah tersebut, ternyata tidak mendapatkan kembali tanah mereka yang didistribusikan kepada orang-orang lain. 6) Kasus-kasus ini muncul saat penguasaan tanah di Indonesia dirasakan terpusat pada sekelompok orang. Banyak tanah rakyat yang dijual ke tangan pembeli bermodal besar maupun investor akibat desakan ekonomi. Lahan-lahan pertanian mengalami konversi, akibat para petani menjual tanah kepada investor yang kemudian tidak mengolah tanah tersebut. Banyaknya tanah terlantar di perkotaan maupun pedesaan sangat mencolok sekali di tengah kebutuhan mendesak akan pemukiman bagi warga, maupun kebutuhan akan lahan pertanian. Hal ini membuat masyarakat merasa termarginalkan di daerahnya sendiri, dan kerapkali menimbulkan konflik maupun sengketa di atas tanah tersebut. Ironisnya tanah-tanah yang dibiarkan terlantar itu tidak ditindak lanjuti oleh pemerintah untuk diamankan padahal berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUPA setiap orang dan badan hukum mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan. Jadi konsekuensi dari ketentuan Pasal 10 ayat (1) ini adalah bahwa tanah pertanian itu tidak boleh dibiarkan terlantar sehingga keberadaannya menjadi tidak bermanfaat dan rusak sedangkan menurut ketentuan Pasal 15 UUPA bahwa memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak ekonomi lemah.




2.      Asas Pendaftaran Tanah (pasal 19 UUPA)
Pasal 19.
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
A.    Kasus Sengketa Lahan Senayan City

Sengketa tanah antara pengelola Senayan City dengan ahli waris Alm Toyib bin Kiming terus berkepanjangan. Bahkan persoalan ini membuat Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPK GBK) turut gerah. Mereka tidak terima jika lahan yang dikelolanya itu tidak memiliki surat-surat tanah. Bahkan PPK GBK menantang di peradilan jika ahli waris Alm Toyib bin Kiming itu memiliki bukti otentik atas lahan yang diperebutkan itu. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta meminta pemerintah DKI Jakarta segera menutup pusat belanja dan perkantoran Senayan City. Menurutnya, langkah itu perlu ditempuh agar penyelesaian sengketa tidak berlarut-larut. Pengelola komplek Gelora Bung karno (GBK) atau Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pengelolaan Komplek Gelanggang Olahraga Bung Karno (PPKGBK) menyatakan kerja sama dengan proyek Senayan City sudah sesuai aturan. Pada saat ini, eksekutif, termasuk Government Public Relations diharapkan dapat membantu mengambil tindakan tegas. Kasus sengketa lahan Senayan City, Jakarta, muncul karena adanya pengaduan atau klaim atas tanah yang digunakan untuk Senayan City oleh orang yang mengaku ahli waris Alm Toyib bin Kiming. Sengketa lahan yang ditempati Senayan City mencuat setelah ahli waris Toyib bin Kiming mengklaim tanah seluas 6,2 hektare di Jalan AsiaAfrika itu sebagai miliknya. Pengelola GBK yang ada di bawah Sekretariat Negara (Setneg) membantah klaim bahwa tanah tempat Senayan City adalah lahan sengketa. Tanah yang digunakan oleh PT Manggala Gelora Perkasa untuk proyek Senayan City adalah tanah milik negara atau PPK GBK atau Setneg dan apabila ada pihak-pihak lain yang mengaku mempunyai hak kepemilikan atas tanah tersebut tentunya dapat melakukan upaya hukum. Sebab tanah GBK adalah tanah eks Asian Games IVtahun 1962 yang kepemilikannya adalah milik negara. Namun, menurut Government Public Relations Senayan City, sengketa itu adalah masalah antara pihak Gelora Bung Karno dan keluarga ahli waris. Kepastian dari Sekretariat Negara sangat dibutuhkan, karena ini tanah negara. Hak kepemilikan tanah berada di tangan Sekretaris Negara dan pengelolaannya dipercayakan kepada Gelora Bung Karno. Sebagai penyewa, Senayan City mengajukan permohonan kepada pengelola Gelora Bung Karno mengenai perjanjian sewa-menyewa akan penggunaan lahan itu selama 35 tahun, terhitung sejak 2006. Kuasa hukum ahli waris Toyib bin Kiming, Tony Arif, mengatakan, lahan yang di klaim kliennya berada di luar lahan yang dikuasai Sekretariat Negara. Kesimpulan itu sudah diverfikasi Badan Pertanahan Nasional, P2U, pajak, camat, dan lurah setempat. Di sisi lain, Public Relations Manager Senayan City membantah anggapan bahwa pihaknya menganggap remeh persoalan sengketa tanah itu. Ia menjelaskan, Senayan City sebagai pihak ketiga harus menyerahkan persoalan kepemilikan lahan kepada pemerintah. Menurut pendapatnya, mereka hanya penyewa, tidak berwenang menentukan siapa pemilik tanah, Government Public Relations Senayan City berkomentar bahwa mereka hanya sebagai pihak ketiga dan penyewa tanah. Kasus ini dapat diselesaikan melalui jalur hukum, karena sengketa lahan itu tidak akan menemui jalan keluar dan tidak menemukan kepastian jika pihak yang bersengketa tetap berkukuh dengan pendirian mereka.

B.     Analisa Kasus

Kasus sengketa tanah ini terjadi antara pihak Senayan City dengan ahli waris Alm Toyib bin Kiming, sedangkan pihak Senayan City sudah menyewa lahan tersebut dari pihak pemerintah selama 35 tahun. Untuk penyelesaian kasus ini, kedua belah pihak mengadukan kasus ini ke ranah hukum karena kasus ini menyangkut pihak pemerintah dan berskala cukup besar sehingga harus diselesaikan melalui jalur hukum. Kasus ini juga harus diselesaikan secepat mungkin karena dapat merugikan berbagai pihak. Adapun undang-undang yang mengatur kasus Sengketa Tanah di Senayan City tersebut, meliputi:

     PENDAFTARAN TANAH

      Dasar Hukum:

v  PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah menggantikan PP No. 10 Tahun 1961.

v  UUPA:

Pasal 19, Ayat (1): Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah RI menurut ketentuan yang diatur dengan PP.

Pasal 19, ayat (2):

Pendaftaran Tanah, meliputi:

1.Pengukuran, Perpetaan, dan Pembukaan Tanah.
2.Pendaftaran hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut
3.Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian     yang kuat.


Pasal 23: Hak Milik 

Pasal 32: Hak Guna Usaha

Pasal 38: Hak Guna Bangunan

Tujuan

·        Antara Lain:

-                   Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atastanah suatu   bidang tanah, satuan rumah susun, hak tanggungan dan hak-hak lain yang di daftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

-                   Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan   mudah dapat memperoleh data yang diperlukan.

-         Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.




Fungsi

·        Yaitu memperoleh alat pembuktian yang kuat tentang sahnya pembuatan hukum mengenai tanah.
·        Kegiatan Pendaftaran tanah
meliputi:
a.               Pengukuran, Perpetaan, dan Pembukaan tanah yang menghasilkan peta-peta pendaftaran dan surat-surat ukur.

b.              Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
        Dalam kegiatan ini meliputi pencatatan mengenai:
      - Status Tanah
      - Subjek Pemegang Hak
      - Beban-beban yang membebani hak atas tanah tersebut.

c.       Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

SERTIFIKAT  CACAT  HUKUM

·        Yaitu sertifikat yang terdapat kekeliruan-kekeliruan saat menerbitkannya.

·        Bentuk-bentuk kekeliruan tersebut adalah :

1.Pemalsuan sertifikat
Yaitu berupa pemalsuan blangko sertifikat tanah, stempel BPN dan pemalsuan data pertanahan nya.

2.Pembuatan sertifikat aspal
Secara formal, sertifikat aspal ini tidak berbeda dengan sertifikat sebenarnya (asli), namun secara materiil, penerbitan sertifikat aspal ini tidak didasarkan pada hak yang benar, seperti penerbitan sertifikat yang didasarkan pada surat keterangan pemiliknya yang dipalsukan.

3.Pembuatan sertifikat ganda
 Yaitu sebidang tanah mempunyai lebih dari satu sertifikat.

HAK GUNA BANGUNAN (HGB)

·                 HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah miliknya sendiri.

·                 Subjek HGB:

1.WNI
2. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan diIndonesia.
                                   
·        Terjadinya HGB:

1.Tanah Negara: Penetapan Pemerintah
2.Tanah Milik: Perjanjian

·                 PP No. 40 Tahun 1996: Hak Guna Bangunan diberikan untuk waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk 30 tahun.

HAK GUNA USAHA (HGU)

§  HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau pertenakan.

§  UUPA pasal 28 s/d pasal 34, PP No. 40 Tahun 1996 pasal 2 s/d pasal 18.


§  PP No. 40 Tahun 1996:

Pasal 8:

Hak guna usaha dapat diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 25 tahun, dan dapat diperbaharui kembali.

Pasal 11:
Untuk  kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan atau pembaharuan hak guna usaha dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan.

HAK PENGELOLAAN (HPL)

§  PMDN No. 1 Tahun 1977, berisi wewenang untuk:

1.      Merencanakan peruntukan penggunaan tanah yang bersangkutan.
2.      Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya.
3.      Menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi segi-segi peruntukkan, penggunaan, jangka waktu, dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar