Jumat, 13 November 2015

FRELES ERMESSEN (DISKRESI)



FREIES ERMESSEN (DISKRESI)
Pengertian Freies Ermessen; Freies berasal dari kata frei dan freie yang berarti bebas, merdeka, tidak terikat, lepas dan orang bebas. Ermessen yang berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian, pertimbangan dan keputusan. Sedang secara etimologis, Freies Ermessen artinya orang yang bebas mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan.
Pouvoir Discretionare atau Freies Ermessen merupakan kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijakan sendiri dari administrasi negara pada welfare state. Fungsi publik service dalam penyelenggaraan pemerintahan welfare state mengakibatkan terjadinya pergeseran sebagian kekuasaan antarlembaga negara yaitu dari lembaga legislative ke lembaga eksekutif (administrasi negara). Pengertian discretie dalam pourvoir discretionare adalah pejabat penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan “tidak ada peraturannya” dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapat sendiri asalkan tidak melanggar asas yuriditas dan asas legalitas. Sedangkan hakikat diokrasi yaitu adanya kebebasan bertindak bagi administrasi negara untuk menjalankan fungsinya secara dinamis guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak, sedang aturan untuk itu belum ada. Bukan kebebasan dalam arti yang seluas-luasnya dan tanpa batas, tetap terikat kepada batas-batas tertentu yang diperkenankan oleh hukum administrasi negara.
Lalu bagaimana penerapan asas Freies Ermessen? Perwujudan sikap tindak dari administrasi negara dalam implementasi freies ermessen bisa terdiri dari beberapa hal diantaranya :
1. Membentuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang secara materiil mengikat umum.
2. Mengeluarkan beschikking yang bersifat konkrit, final dan individual.
3. Melakukan tindak administrasi yang nyata dan aktif.
4. Menjalankan fungsi quasi yudisial, terutama “ keberatan” dan “ banding administrasi”.
Dari perwujudan sikap tindak administrasi negara dapat ditentukan tolak ukur dari asas freies ermessen secara singkat yaitu :
1. Adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri.
2. Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu.
3. Harus dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya bagaimana penerapan asas freies ermessen dalam penyelenggaraan fungsi pajak sehingga bisa kita lihar seberapa jauh pentingnya penerapan asas tersebut khususnya dalam penyelenggaraan fungsi pajak.
Asas Freies Ermessen Dalam Peyelenggaraan Fungsi Pajak
Hukum administrasi negara (hukum pajak) sebagai landasan kerja bagi pemerintah mempunyai peranan yang sangat dominan dan penting, sebab inti hakekat hukum administrasi negara adalah dimungkinkan administrasi negara (pemerintah) untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga (termasuk wajib pajak) terhadap sikap tindak administrasi negara (dalam arti mengatur kehidupan warganya dalam mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang menimbulkan akibat hukum bagi obyek yang diaturnya) serta melindungi pemerintah itu sendiri.
Hukum administrasi negara (hukum pajak) adalah hukum yang selalu mengalami perkembangan dan tentunya tidak dapat dilepaskan antara kepentingan negara dan kepentingan warga negara. Untuk itu, perlu ada penyesuaian-penyesuaian dalam kehidupan bernegara, seperti Indonesia sebagai negara kesejahtraan ( walfare state) yang bertujuan menyelenggarakan kesejahtraan masyarakat, maka di samping meningkatkan pemasukan pajak ke kas negara, juga bagaimana menunjang pembangunan nasional terutama dalam hal meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan sarana hukum administrasi negara yang kondusif, kompetitif (dibandingkan dengan negara-negara lain), mengandung kepastian hukum, menerapkan sistem pemungutan pajak yang realistis dan memilih sistem perpajakan yang tepat guna dan berdaya guna.
Undang-undang sebagai dasar legalitas bagi pemerintah dalam melakukan tindakan harus dibentuk oleh badan legislatif (DPR). Hal ini sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (1), sebelumnya rancangan UU diajukan oleh Presiden (Pemerintah) kepada DPR berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) (Perubahan Pertama, 1999-UUD-Baru 1945). Di samping itu, pemerintah masih dimungkinkan untuk membentuk peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini Hans Kelsen berpendapat fungsi membuat peraturan yang mengikat umum bukan hanya wewenang dari badan legislatif saja, tetapi dapat pula dilakukan oleh badan lain. Misalnya badan eksekutif (presiden, menteri beserta aparatnya).
Menurut Sjachran Basah terdapat trifungsi administrasi negara, yaitu:
1. Membentuk peraturan undang-undang dalam arti materiil pada satu pihak dan di lain pihak membuat ketetapan (beschikking). Yang dimaksud dengan undang-undang dalam arti materiil di sini adalah ketentuan yang bentuknya bukan undang-undang dan tingkat derajatnya berada di bawah undang-undang, tetapi ketentuan itu mempunyai daya ikat umum dan abstrak sifatnya, melaikan konkrit, individual, final berdasarkan hukum administrasi negara.
2. Menjalankan tindakan administrasi negara dalam rangka mencapai tujuannya.
3. Menjalankan fungsi peradilan, yaitu upaya administrative (administrasi keberatan).
Trifungsi administrasi negara merupakan implementasi asas freies ermessen sebagai sikap tindak administrasi negara, karena peraturan perundang-undangan tidak dapat mengantisipasi (melalui fungsi pajak) bila terjadi perkembangan ekonomi dan social yang dapat berubah-ubah setiap waktu. Oleh karena itu, dimungkinkan pemerintah tidak memiliki dasar hukum tertulis untuk melakukan tindakan. Menurut Bagir Manan sebagai ketentuan tertulis (written law), peraturan perundang-undangan mempunyai jangkauan yang terbatas-sekedar moment opname dari unsure-unsur politik, ekonomi (pajak), sosial, budaya, dan hamkam yang paling berpengaruh pada saat pembentukan. Oleh karena itu mudah sekali ‘aus’ (out of date) bila dibandingkan dengan perubahan masyarakat yang semakin cepat atau dipercepat.
Sejalan dengan itu, pemerintah dalam menjalankan tugasnya senantiasa dengan sikap-tindak tidak lepas dari kekuasaan yang melekat padanya. Sesuai asas legalitas, bahwa setiap tindakan pemerintah harus memiliki dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena asas legalitas menjadi sendi utama suatu negara hukum. Akan tetapi keberadaan asas legalitas tetap akan menjadi problema tersendiri. Sebabnya, bagaimanapun juga perkembangna ekonomi dan sosial dapat berubah dengan cepat, sedangkan bila dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan selalu ketinggalan dan tidak mungkin dapat mengikuti perkembangan. Padahal, pemerintah dalam menyelenggarakan fungsi pajak harus dapat mengakomodir kebijakan perpajakan yang berkaitan dengan peningkatan perkembangan ekonomi dan sosial yang terjadi. Tetap bagaimana jika peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar tindakan pemerintah tidak ada.
Bagir Manan menyatakan bahwa pembuatan undang-undang ibarat deret hitung, sedangkan perubahan masyarakat bertambah seperti deret ukur. Kecuali itu, peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan perkembangan masyarakat. Peraturan perundang-undangan juga tidak pernah lengkap untuk memenuhi segala peristiwa hukum. Oleh karena itu, keberadaan asas freies ermessen bagi pemerintah merupakan conditio sine quanon yang diperlukan dalam menyelenggarakan fungsi pajak, karena fungsi pajak akan terkait langsung dengan tujuan sebagai salah satu instrumen pemerintah dalam mengendalikan kebijakan pendapatan negara. Sedangkan fungsi pajak dapat dibedakan, yaitu fungsi anggaran (budgeter) dan fungsi pajak sebagai alatyang digunakan untuk memasukkan dana yang sebesar-besarnya dari masyarakat ke kas negara; dab fungsi mengatur (regulerend), adalah fungsi pajak digunakanuntuk mengatur dan mengarahkan masyarakat kea rah yang diinginkan olehpemerintah (ekonomi dan sosial).
Untuk itu, pemerintah diberikan asas freies ermessen (kebebasan bertindak) dalam bentuk tertulis yang berupa peraturan kebijaksanaan (beleidsregel). Menurut Sjachran Basah freies ermessen adalah kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan persoalan-persoalan pentingdan mendesak yang muncul secara tiba-tiba dimana hukum (peraturan perundang-undangan) tidak mengaturnya, serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral. Di samping itu, bagi negara yang bersifat welfare state (Indonesia) asas legalitas saja tidak cukup untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani kepentingan masyarakat khususnya dalam menghadapi perkembangan ekonomi di era globalisasi. Menurut Laica Marzuki asas Freies Ermessen merupakan kebebasan yang diberikan kepada Tata Usaha Negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Demikian agar sejalan dengan meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus diberikan Tata Usaha Negara (termasuk fungsi pajak khususnya fungsi regulerend) terhadap kehidupan sosial ekonomi para warga yang kian kompleks. Asas Freies Ermessen merupakan hal yang tidak terelakan dalam tatanan bentuk negara kesejahteraan modern, terutama di era globalisasi menjadikan Tata Usaha Negara semakin memperluas penggunaan asas freies ermessen yang melekat pada jabatan publiknya. Namun, harus dicegah cara-cara membentuk peraturan perundang-undangan (khususnya di bidang perpajakan) yang tidak mengindahkan sistem dan tertib hukum yang berlaku.Begitu pula bentuk peraturan kebijaksanaan (beleidsregel) harus dibatasi. Kalaupun diadakan harus benar-benar memperhatikan asas pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik dan asas penyelenggaraan administrasi negara yang baik pula.
Karena itu pemerintah dalam menjalankan tugasnya menyelenggarakan fungsi pajak berdasarkan kebijakan pendapatan negara, tidak boleh menolak dengan alasan tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Sebelum ada peraturan perundang-undangan (hukum pajak), pemerintah diberi ruang kebebasan untuk mempertimbangkan guna mangambil langkah-langkah tertentu. Pertama, Kebebasan menafsirkan mengenai ruang lingkup wewenang yang dirumuskan dalam peraturan sebagai dasar wewenangnya. Kedua, Kebebasan untuk menentukan sendiri dengan cara bagaimana dan kapan wewenang yang dimiliki administrasi negara itu dilaksanakan. Hasil dari kebebasan mempertimbangkan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk tertulis (peraturan kebijaksanaan) dalam rangka melaksanakan kebijakan (termasuk bidang perpajakan).
Adapun bermacam-macam pertimbangan yang harus dihadapi pemerintah, khususnya dalam bidang perpajakan, yaitu misal besar kecilnya pajak dalam segala bentuknya akan ikut merangsang usaha. Tarif pajak yang tidak terlalu tinggi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelanjutan dan pengembangan usaha. Besar kecilnya pengeluaran pemerintah dalam berbagai sektor ekonomi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi volume dan ruang lingkup kegiatan ekonomi swasta. Selanjutnya, pajak dapat juga digunakan untuk menstabilkan ekonomi, apabila terdapat kemunduran ekonomi, tarif pajak diturunkan, sebaliknya apabila ekonomi berkembang terlalu cepat (sedangkan bidang lain ketinggalan sehingga terdapat ketidakserasian perkembangan) maka tarif pajak dinaikkan untuk menunjang semua itu diperlukan penerapan kebijaksanaan yang fleksibel, cepat, efektif dan efisien.
Peranan hukum administrasi negara di bidang pajak yaitu sebagai sarana dalam kerangka memenuhi pemasukan pajak ke kas negara serta manunjang peningkatan pertumbuhan perkembangan ekonomi dan sosial. Sehubungan dengan fungsi pajak berdasarkan kebijakan pendapatan negara, diarahkan juga bagaimana menciptakan administrasi negara (pemerintah) yang menyelenggarakan fungsi pajak secara ‘bersih’ dan menegakkan wibawa hukum. Untuk itu, perlu ada perlindungan hukum baik terhadap wajib pajak maupun terhadap administrasi negara itu sendiri.

Untuk mewujudkan hal ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berupa perubahan perpajakan nasional untuk mengimbangi perkembangan ekonomi dan sosial. Perubahan Perpajakan Nasional itu di mulai tahun 1983 sampai dengan tahun 2000 dengan melewati 4 tahap perubahan.
Pembaharuan Perpajakan Nasional ditandai dengan dikeluarkanya beberapa Undang-Undang yaitu :
1. Perubahan Perpajakan Nasional I
2. Pembaharuan Perpajakan Nasional II
3. Pembaharuan Perpajakan Nasional III









CONTOH KASUS
Pemberian hak diskresi kepada pejabat pemerintah sesuai dengan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan merupakan salah satu langkah maju. Meski demikian, banyak kalangan menilai pelaksanaannya akan sulit karena para pengambil kebijakan dihadapkan pada posisi dilematis.
Hal ini mengemuka dalam diskusi “Critical Review Permasalahan Implementasi Diskresi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan” yang diselenggarakan Pusat Kajian Sistem Hukum Administrasi Negara (PKSHAN) LAN, di Lt. II Gedung B Kantor LAN, Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat, Rabu (1/4).
Menurut Kepala Bagian Administrasi PKSHAN, Triadmojo Sejati, implementasi diskresi merupakan langkah maju karena memberikan hak sepenuhnya kepada pejabat daerah untuk mengambil keputusan yang selama ini tidak ada atau tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Meski demikian, pejabat daerah juga dituntut untuk taat pada aturan dan dibatasi kewenangannya.
“Dengan demikian, diskresi akan  menjadi sulit dalam implementasinya. Karena ada kebebasan di satu sisi, tetapi ada juga batasan di sisi yang lain,” jelasnya saat mengawali diskusi.
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan, diskresi pada dasarnya bisa dilaksanakan dengan tujuan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan ketika terjadi stagnasi, mengisi kekosongan hukum, memberi kepastian hukum, serta mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
“Salah satu contoh diskresi adalah ketika terjadi bencana alam yang membutuhkan penanganan cepat. Pada posisi ini, Kepala daerah bisa menggunakan haknya untuk mengambil terobosan kebijakan yang tidak di atar atau dimungkinkan oleh undang-undang,” jelasnya.     
Dalam konteks yang lebih besar, Refly mencontohkan kasus pencalonan Kapolri Budi Gunawan yang berstatus tersangka dan mendapat penolakan dari berbagai kalangan. Dalam hal ini, lanjut dia, Presiden memiliki kewenangan untuk menggunakan Constitutional Power-nya guna memecah stagnasi pemerintahan dan segera mengambil keputusan.
“Alasannya jelas, karena tidak ada peraturan yang mengatur ketika terjadi penolakan,” jelasnya.
Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN), Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MPA mengatakan, diskresi memang belum banyak dimanfaatkan oleh para pejabat di daerah karena dikhawatirkan akan  menempatkan mereka pada posisi berhadapan dengan hukum. Padahal, lanjut dia, diskresi diperlukan oleh penyelenggara pemerintahan karena sangat dibutuhkan untuk mengatasi keterbatasan kapasitas regulasi.
“Karena kapasitas regulasi atau perundang-undangan tidak mampu menjawab perubahan yang begitu cepat di masyarakat. Kadang regulasi yang ada pun sudah tidak relevan dengan perubahan jaman. Jadi diskresi itu penting untuk mengakomodasi kepentingan publik yang terus berkembang,” jelasnya.
Agus mengatakan, kapasitas regulasi di Indonesia seringkali menunjukkan banyaknya peraturan-peraturan yang sudah tidak relevan atau bahkan tidak masuk akal lagi dalam mencerminkan kepentingan publik. Oleh karena itu, kewenangan diskresi pada pejabat pemerintah mutlak diperlukan.
Dia mencontohkan, pemberian hak diskresi pada street level bureaucracy pada masa pemerintahan Presiden Bill Clinton. Clinton mendorong street level bureaucracy yang berhadapan dengan publik untuk mengambil terobosan-terobosan kebijakan yang bersinggungan langsung dengan masyarakat di tingkat bawah.
“Karena mereka yang paling mengetahui permasalahan di tingkat masyarakat,” jelasnya. (bp/humas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar