FREIES
ERMESSEN (DISKRESI)
Pengertian Freies Ermessen; Freies
berasal dari kata frei dan freie yang berarti bebas, merdeka, tidak terikat,
lepas dan orang bebas. Ermessen yang berarti mempertimbangkan, menilai,
menduga, penilaian, pertimbangan dan keputusan. Sedang secara etimologis,
Freies Ermessen artinya orang yang bebas mempertimbangkan, bebas menilai, bebas
menduga, dan bebas mengambil keputusan.
Pouvoir Discretionare atau Freies
Ermessen merupakan kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijakan sendiri
dari administrasi negara pada welfare state. Fungsi publik service dalam
penyelenggaraan pemerintahan welfare state mengakibatkan terjadinya pergeseran
sebagian kekuasaan antarlembaga negara yaitu dari lembaga legislative ke
lembaga eksekutif (administrasi negara). Pengertian discretie dalam pourvoir discretionare
adalah pejabat penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan
“tidak ada peraturannya” dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil
keputusan menurut pendapat sendiri asalkan tidak melanggar asas yuriditas dan
asas legalitas. Sedangkan hakikat diokrasi yaitu adanya kebebasan bertindak
bagi administrasi negara untuk menjalankan fungsinya secara dinamis guna
menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak, sedang aturan untuk
itu belum ada. Bukan kebebasan dalam arti yang seluas-luasnya dan tanpa batas,
tetap terikat kepada batas-batas tertentu yang diperkenankan oleh hukum
administrasi negara.
Lalu bagaimana penerapan asas Freies
Ermessen? Perwujudan sikap tindak dari administrasi negara dalam implementasi
freies ermessen bisa terdiri dari beberapa hal diantaranya :
1. Membentuk peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang yang secara materiil mengikat umum.
2. Mengeluarkan beschikking yang bersifat konkrit, final dan individual.
3. Melakukan tindak administrasi yang nyata dan aktif.
4. Menjalankan fungsi quasi yudisial, terutama “ keberatan” dan “ banding administrasi”.
2. Mengeluarkan beschikking yang bersifat konkrit, final dan individual.
3. Melakukan tindak administrasi yang nyata dan aktif.
4. Menjalankan fungsi quasi yudisial, terutama “ keberatan” dan “ banding administrasi”.
Dari perwujudan sikap tindak
administrasi negara dapat ditentukan tolak ukur dari asas freies ermessen
secara singkat yaitu :
1. Adanya kebebasan atau keleluasaan
administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri.
2. Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu.
3. Harus dapat dipertanggungjawabkan.
2. Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu.
3. Harus dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya bagaimana penerapan asas
freies ermessen dalam penyelenggaraan fungsi pajak sehingga bisa kita lihar
seberapa jauh pentingnya penerapan asas tersebut khususnya dalam
penyelenggaraan fungsi pajak.
Asas Freies Ermessen Dalam
Peyelenggaraan Fungsi Pajak
Hukum administrasi negara (hukum
pajak) sebagai landasan kerja bagi pemerintah mempunyai peranan yang sangat
dominan dan penting, sebab inti hakekat hukum administrasi negara adalah
dimungkinkan administrasi negara (pemerintah) untuk menjalankan fungsinya dan
melindungi warga (termasuk wajib pajak) terhadap sikap tindak administrasi
negara (dalam arti mengatur kehidupan warganya dalam mengeluarkan
ketetapan-ketetapan yang menimbulkan akibat hukum bagi obyek yang diaturnya)
serta melindungi pemerintah itu sendiri.
Hukum administrasi negara (hukum
pajak) adalah hukum yang selalu mengalami perkembangan dan tentunya tidak dapat
dilepaskan antara kepentingan negara dan kepentingan warga negara. Untuk itu,
perlu ada penyesuaian-penyesuaian dalam kehidupan bernegara, seperti Indonesia
sebagai negara kesejahtraan ( walfare state) yang bertujuan menyelenggarakan
kesejahtraan masyarakat, maka di samping meningkatkan pemasukan pajak ke kas
negara, juga bagaimana menunjang pembangunan nasional terutama dalam hal
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan sarana hukum administrasi
negara yang kondusif, kompetitif (dibandingkan dengan negara-negara lain),
mengandung kepastian hukum, menerapkan sistem pemungutan pajak yang realistis
dan memilih sistem perpajakan yang tepat guna dan berdaya guna.
Undang-undang sebagai dasar legalitas
bagi pemerintah dalam melakukan tindakan harus dibentuk oleh badan legislatif
(DPR). Hal ini sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (1), sebelumnya rancangan UU
diajukan oleh Presiden (Pemerintah) kepada DPR berdasarkan ketentuan Pasal 5
ayat (1) (Perubahan Pertama, 1999-UUD-Baru 1945). Di samping itu, pemerintah
masih dimungkinkan untuk membentuk peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini
Hans Kelsen berpendapat fungsi membuat peraturan yang mengikat umum bukan hanya
wewenang dari badan legislatif saja, tetapi dapat pula dilakukan oleh badan
lain. Misalnya badan eksekutif (presiden, menteri beserta aparatnya).
Menurut Sjachran Basah terdapat
trifungsi administrasi negara, yaitu:
1. Membentuk peraturan undang-undang
dalam arti materiil pada satu pihak dan di lain pihak membuat ketetapan
(beschikking). Yang dimaksud dengan undang-undang dalam arti materiil di sini
adalah ketentuan yang bentuknya bukan undang-undang dan tingkat derajatnya
berada di bawah undang-undang, tetapi ketentuan itu mempunyai daya ikat umum
dan abstrak sifatnya, melaikan konkrit, individual, final berdasarkan hukum
administrasi negara.
2. Menjalankan tindakan administrasi
negara dalam rangka mencapai tujuannya.
3. Menjalankan fungsi peradilan, yaitu
upaya administrative (administrasi keberatan).
Trifungsi administrasi negara
merupakan implementasi asas freies ermessen sebagai sikap tindak administrasi
negara, karena peraturan perundang-undangan tidak dapat mengantisipasi (melalui
fungsi pajak) bila terjadi perkembangan ekonomi dan social yang dapat
berubah-ubah setiap waktu. Oleh karena itu, dimungkinkan pemerintah tidak
memiliki dasar hukum tertulis untuk melakukan tindakan. Menurut Bagir Manan
sebagai ketentuan tertulis (written law), peraturan perundang-undangan mempunyai
jangkauan yang terbatas-sekedar moment opname dari unsure-unsur politik,
ekonomi (pajak), sosial, budaya, dan hamkam yang paling berpengaruh pada saat
pembentukan. Oleh karena itu mudah sekali ‘aus’ (out of date) bila dibandingkan
dengan perubahan masyarakat yang semakin cepat atau dipercepat.
Sejalan dengan itu, pemerintah dalam
menjalankan tugasnya senantiasa dengan sikap-tindak tidak lepas dari kekuasaan
yang melekat padanya. Sesuai asas legalitas, bahwa setiap tindakan pemerintah
harus memiliki dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena asas
legalitas menjadi sendi utama suatu negara hukum. Akan tetapi keberadaan asas
legalitas tetap akan menjadi problema tersendiri. Sebabnya, bagaimanapun juga
perkembangna ekonomi dan sosial dapat berubah dengan cepat, sedangkan bila
dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan selalu ketinggalan dan tidak
mungkin dapat mengikuti perkembangan. Padahal, pemerintah dalam
menyelenggarakan fungsi pajak harus dapat mengakomodir kebijakan perpajakan yang
berkaitan dengan peningkatan perkembangan ekonomi dan sosial yang terjadi.
Tetap bagaimana jika peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar tindakan
pemerintah tidak ada.
Bagir Manan menyatakan bahwa pembuatan
undang-undang ibarat deret hitung, sedangkan perubahan masyarakat bertambah
seperti deret ukur. Kecuali itu, peraturan perundang-undangan tidak fleksibel.
Tidak mudah menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan perkembangan
masyarakat. Peraturan perundang-undangan juga tidak pernah lengkap untuk
memenuhi segala peristiwa hukum. Oleh karena itu, keberadaan asas freies
ermessen bagi pemerintah merupakan conditio sine quanon yang diperlukan dalam
menyelenggarakan fungsi pajak, karena fungsi pajak akan terkait langsung dengan
tujuan sebagai salah satu instrumen pemerintah dalam mengendalikan kebijakan
pendapatan negara. Sedangkan fungsi pajak dapat dibedakan, yaitu fungsi
anggaran (budgeter) dan fungsi pajak sebagai alatyang digunakan untuk
memasukkan dana yang sebesar-besarnya dari masyarakat ke kas negara; dab fungsi
mengatur (regulerend), adalah fungsi pajak digunakanuntuk mengatur dan
mengarahkan masyarakat kea rah yang diinginkan olehpemerintah (ekonomi dan
sosial).
Untuk itu, pemerintah diberikan asas
freies ermessen (kebebasan bertindak) dalam bentuk tertulis yang berupa
peraturan kebijaksanaan (beleidsregel). Menurut Sjachran Basah freies ermessen
adalah kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan
persoalan-persoalan pentingdan mendesak yang muncul secara tiba-tiba dimana
hukum (peraturan perundang-undangan) tidak mengaturnya, serta dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral. Di samping itu, bagi negara yang
bersifat welfare state (Indonesia) asas legalitas saja tidak cukup untuk dapat
berperan secara maksimal dalam melayani kepentingan masyarakat khususnya dalam
menghadapi perkembangan ekonomi di era globalisasi. Menurut Laica Marzuki asas
Freies Ermessen merupakan kebebasan yang diberikan kepada Tata Usaha Negara
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Demikian agar sejalan dengan
meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus diberikan Tata Usaha Negara
(termasuk fungsi pajak khususnya fungsi regulerend) terhadap kehidupan sosial
ekonomi para warga yang kian kompleks. Asas Freies Ermessen merupakan hal yang
tidak terelakan dalam tatanan bentuk negara kesejahteraan modern, terutama di
era globalisasi menjadikan Tata Usaha Negara semakin memperluas penggunaan asas
freies ermessen yang melekat pada jabatan publiknya. Namun, harus dicegah
cara-cara membentuk peraturan perundang-undangan (khususnya di bidang
perpajakan) yang tidak mengindahkan sistem dan tertib hukum yang berlaku.Begitu
pula bentuk peraturan kebijaksanaan (beleidsregel) harus dibatasi. Kalaupun
diadakan harus benar-benar memperhatikan asas pembuatan peraturan
perundang-undangan yang baik dan asas penyelenggaraan administrasi negara yang
baik pula.
Karena itu pemerintah dalam
menjalankan tugasnya menyelenggarakan fungsi pajak berdasarkan kebijakan
pendapatan negara, tidak boleh menolak dengan alasan tidak ada peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya. Sebelum ada peraturan perundang-undangan
(hukum pajak), pemerintah diberi ruang kebebasan untuk mempertimbangkan guna
mangambil langkah-langkah tertentu. Pertama, Kebebasan menafsirkan mengenai ruang
lingkup wewenang yang dirumuskan dalam peraturan sebagai dasar wewenangnya.
Kedua, Kebebasan untuk menentukan sendiri dengan cara bagaimana dan kapan
wewenang yang dimiliki administrasi negara itu dilaksanakan. Hasil dari
kebebasan mempertimbangkan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk tertulis
(peraturan kebijaksanaan) dalam rangka melaksanakan kebijakan (termasuk bidang
perpajakan).
Adapun bermacam-macam pertimbangan
yang harus dihadapi pemerintah, khususnya dalam bidang perpajakan, yaitu misal
besar kecilnya pajak dalam segala bentuknya akan ikut merangsang usaha. Tarif
pajak yang tidak terlalu tinggi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kelanjutan dan pengembangan usaha. Besar kecilnya pengeluaran pemerintah dalam
berbagai sektor ekonomi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi
volume dan ruang lingkup kegiatan ekonomi swasta. Selanjutnya, pajak dapat juga
digunakan untuk menstabilkan ekonomi, apabila terdapat kemunduran ekonomi,
tarif pajak diturunkan, sebaliknya apabila ekonomi berkembang terlalu cepat
(sedangkan bidang lain ketinggalan sehingga terdapat ketidakserasian
perkembangan) maka tarif pajak dinaikkan untuk menunjang semua itu diperlukan
penerapan kebijaksanaan yang fleksibel, cepat, efektif dan efisien.
Peranan hukum administrasi negara di
bidang pajak yaitu sebagai sarana dalam kerangka memenuhi pemasukan pajak ke
kas negara serta manunjang peningkatan pertumbuhan perkembangan ekonomi dan
sosial. Sehubungan dengan fungsi pajak berdasarkan kebijakan pendapatan negara,
diarahkan juga bagaimana menciptakan administrasi negara (pemerintah) yang
menyelenggarakan fungsi pajak secara ‘bersih’ dan menegakkan wibawa hukum.
Untuk itu, perlu ada perlindungan hukum baik terhadap wajib pajak maupun
terhadap administrasi negara itu sendiri.
Untuk mewujudkan hal ini, pemerintah
mengeluarkan kebijakan yang berupa perubahan perpajakan nasional untuk
mengimbangi perkembangan ekonomi dan sosial. Perubahan Perpajakan Nasional itu
di mulai tahun 1983 sampai dengan tahun 2000 dengan melewati 4 tahap perubahan.
Pembaharuan Perpajakan Nasional
ditandai dengan dikeluarkanya beberapa Undang-Undang yaitu :
1. Perubahan Perpajakan Nasional I
2. Pembaharuan Perpajakan Nasional II
3. Pembaharuan Perpajakan Nasional III
CONTOH
KASUS
Pemberian hak diskresi kepada pejabat
pemerintah sesuai dengan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
merupakan salah satu langkah maju. Meski demikian, banyak kalangan menilai
pelaksanaannya akan sulit karena para pengambil kebijakan dihadapkan pada
posisi dilematis.
Hal ini mengemuka dalam diskusi
“Critical Review Permasalahan Implementasi Diskresi dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan” yang diselenggarakan Pusat Kajian Sistem Hukum Administrasi
Negara (PKSHAN) LAN, di Lt. II Gedung B Kantor LAN, Jl. Veteran No. 10 Jakarta
Pusat, Rabu (1/4).
Menurut Kepala Bagian Administrasi
PKSHAN, Triadmojo Sejati, implementasi diskresi merupakan langkah maju karena
memberikan hak sepenuhnya kepada pejabat daerah untuk mengambil keputusan yang
selama ini tidak ada atau tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Meski demikian, pejabat daerah juga dituntut untuk taat pada aturan dan
dibatasi kewenangannya.
“Dengan demikian, diskresi akan
menjadi sulit dalam implementasinya. Karena ada kebebasan di satu sisi, tetapi
ada juga batasan di sisi yang lain,” jelasnya saat mengawali diskusi.
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun
mengatakan, diskresi pada dasarnya bisa dilaksanakan dengan tujuan untuk
melancarkan penyelenggaraan pemerintahan ketika terjadi stagnasi, mengisi
kekosongan hukum, memberi kepastian hukum, serta mengatasi stagnasi
pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
“Salah satu contoh diskresi adalah
ketika terjadi bencana alam yang membutuhkan penanganan cepat. Pada posisi ini,
Kepala daerah bisa menggunakan haknya untuk mengambil terobosan kebijakan yang
tidak di atar atau dimungkinkan oleh undang-undang,”
jelasnya.
Dalam konteks yang lebih besar, Refly
mencontohkan kasus pencalonan Kapolri Budi Gunawan yang berstatus tersangka dan
mendapat penolakan dari berbagai kalangan. Dalam hal ini, lanjut dia, Presiden
memiliki kewenangan untuk menggunakan Constitutional Power-nya guna memecah
stagnasi pemerintahan dan segera mengambil keputusan.
“Alasannya jelas, karena tidak ada
peraturan yang mengatur ketika terjadi penolakan,” jelasnya.
Kepala Lembaga Administrasi Negara
(LAN), Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MPA mengatakan, diskresi memang belum banyak
dimanfaatkan oleh para pejabat di daerah karena dikhawatirkan akan
menempatkan mereka pada posisi berhadapan dengan hukum. Padahal, lanjut dia,
diskresi diperlukan oleh penyelenggara pemerintahan karena sangat dibutuhkan
untuk mengatasi keterbatasan kapasitas regulasi.
“Karena kapasitas regulasi atau
perundang-undangan tidak mampu menjawab perubahan yang begitu cepat di
masyarakat. Kadang regulasi yang ada pun sudah tidak relevan dengan perubahan
jaman. Jadi diskresi itu penting untuk mengakomodasi kepentingan publik yang
terus berkembang,” jelasnya.
Agus mengatakan, kapasitas regulasi di
Indonesia seringkali menunjukkan banyaknya peraturan-peraturan yang sudah tidak
relevan atau bahkan tidak masuk akal lagi dalam mencerminkan kepentingan
publik. Oleh karena itu, kewenangan diskresi pada pejabat pemerintah mutlak
diperlukan.
Dia mencontohkan, pemberian hak
diskresi pada street
level bureaucracy pada masa pemerintahan Presiden Bill
Clinton. Clinton mendorong street level bureaucracy yang berhadapan
dengan publik untuk mengambil terobosan-terobosan kebijakan yang bersinggungan
langsung dengan masyarakat di tingkat bawah.
“Karena mereka yang paling mengetahui
permasalahan di tingkat masyarakat,” jelasnya. (bp/humas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar